Monday 6 October 2014

Berbagai Jenis Definisi Moralitas (Sīla)

Moralitas, sila, kemoralan, definisi moralitas
Moralitas
Apakah “Moralitas” atau Sīla?
Dalam Paṭisambhidhāmagga, i, 44; terdapat pernyataan, “Kiṁ sīlanti cetanā sīlaṁ, cetasika sīlaṁ, saṁvaro sīlaṁ, avītikkamo sīlanti.” Pernyataan tersebut berarti, “Apakah yang dimaksud dengan sīla atau moralitas? Kehendak (cetanā) adalah sīla, faktor-faktor batin (cetasikā) adalah sīla, pengendalian diri (saṁvara) adalah sīla, dan ketiadaan pelanggaran adalah sīla.

Kehendak (Cetanā) sebagai Sīla
Secara umum, moralitas dapat diukur atau diketahui dari perilaku badan jasmani dan ucapan seseorang. Dari perilaku seseorang yang baik, biasanya kita dengan mudah menentukan bahwa ia adalah orang dengan moralitas yang baik. Demikian pula jika seseorang senantiasa mengucapkan kata-kata yang ramah, lemah lembut, dan kata-kata baik, secara otomatis kita menganggap orang tersebut memiliki moralitas yang baik. Sebaliknya, jika seseorang senantiasa berkata dan berperilaku yang buruk, kita menganggap orang tersebut tidak memiliki moralitas.

Namun demikian, jika ditinjau lebih mendalam, moralitas tidak hanya dalam bentuk ucapan maupun perilaku badan jasmani. Moralitas juga dapat ditinjau dari kehendak (cetanā) yang mana akan menentukan bagaimana seseorang berucap dan bertindak melalui badan jasmaninya. Misalnya saja kehendak yang muncul dalam diri seseorang untuk menghindari pembunuhan, pencurian, bertindak asusila, berkata bohong, dan minum minuman yang melemahkan kesadaran; atau misalnya kehendak untuk membantu orang lain, berdana, serta melaksanakan kewajiban-kewajiban, adalah termasuk dalam kehendak yang disertai dengan moralitas (sīla).

Faktor-faktor Batin (Cetasikā) sebagai Sīla
Faktor-faktor batin sebagai sīla yang dimaksud di sini adalah tiga faktor batin pengendalian diri, yaitu ucapan benar, perbuatan jasmani benar, dan penghidupan benar. Ketiga faktor batin ini bersekutu dengan moralitas (sīla) sehingga dapat dikatakan faktor-faktor batin ini sebagai sīla.

Ucapan benar (sammāvācā) adalah bentuk pengendalian dari kata-kata yang salah. Dalam Buddha Dhamma, terdapat empat hal yang merupakan kata-kata salah, yaitu berbohong, memfitnah, kata-kata kasar, dan ucapan yang bersifat membual. Seseorang dianjurkan untuk menghindari empat jenis kata-kata salah ini. Sebaliknya, setiap orang dianjurkan untuk senantiasa pengendalian diri melalui ucapan dengan cara berkata jujur, ramah, lemah lembut, dan mengucapkan kata-kata yang bermanfaat.

Perbuatan jasamani benar (sammākammanta) adalah bentuk pengendalian diri dari perilaku jasamani yang salah. Misalnya, seseorang menghindari pembunuhan, pencurian, dan tindakan asusila. Sebaliknya semua orang dianjurkan untuk senantiasa menolong makhluk yang menderita, berdana, dan melakukan kebaikan melalui badan jasmani.

Mata pencaharian benar (sammā-ājīva) adalah bentuk pengendalian diri dalam hal penghidupan. Seseorang tidak dianjurkan melakukan hal-hal yang salah sebagai mata pencahariannya. Mata pencaharian yang salah misalnya memperoleh pendapat dari hasil menipu, membunuh makhluk lain, mencuri, dan lain sebagainya. Sebaliknya semua orang dianjurkan untuk menempuh cara-cara yang tidak melanggar prinsip moralitas untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.

Selain tiga faktor batin tersebut, terdapat tiga faktor batin lainnya yang juga termasuk dalam sīla, yaitu tanpa keserakahan (alobha), tanpa kebencian (adosa), dan kebijaksanaan (paññā). Dengan demikian jika seseorang bertindak dan berucap disertai dengan ketiga faktor batin ini, maka ucapan dan tindakannya tersebut pasti tindakan yang bermoral.

Pengendalian Diri (Saṁvara) sebagai Sīla
Moralitas tidak dapat dipisahkan dari faktor pengendalian diri. Seseorang yang dapat mengendalikan dirinya, pasti memiliki tingkat moralitas yang tinggi. Tanpa adanya pengendalian diri, seseorang akan dengan mudah melakukan kejahatan, misalnya melakukan kebohongan, pembunuhan, pencurian, dan hal-hal lain yang jauh dari moralitas.

Visuddhi Magga memberikan lima bentuk pengendalian diri sebagai sīla. Yang pertama dalah pāṭimokkhasaṁvara—yaitu pengendalian diri dengan mematuhi peraturan-peraturan komunitas bhikkhu. Yang kedua adalah satisaṁvara—yakni pengendalian alat-alat indera seperti mata, telinga, hidung, lidah, tubuh, dan batin yang disertai dengan perhatian penuh. Selanjutnya adalah ñāṇasaṁvara—yaitu pengendalian diri yang disertai dengan pengetahuan, pandangan benar. Kemudian khantīsaṁvara—pengendalian diri dengan kesabaran dan kemampuan mengendalikan amarah. Yang terakhir adalah vīriyasaṁvara—yaitu pengendalian diri dengan mengerahkan semangat dan upaya untuk mengenyahkan pikiran buruk.

Ketiadaan Pelanggaran sebagai Sīla

Seseorang yang memiliki moralitas akan cenderung menghindari hal-hal yang buruk dan melakukan hal-hal yang baik. Keadaan seperti itu akan mengondisikan orang tersebut terhindar dari pelanggaran-pelanggaran moralitas. Dengan demikian, orang tersebut akan dapat terhindar dari ucapan salah dan tindakan badan jasmani yang salah. Sehingga dalam hal kehendak, faktor-faktor batin, dan pengendalian secara sempurna tidak terlanggar sama sekali.

No comments:

Post a Comment