Moralitas |
Apakah
“Moralitas” atau Sīla?
Dalam Paṭisambhidhāmagga, i, 44; terdapat pernyataan, “Kiṁ sīlanti cetanā sīlaṁ, cetasika sīlaṁ, saṁvaro
sīlaṁ, avītikkamo sīlanti.” Pernyataan tersebut berarti, “Apakah yang
dimaksud dengan sīla atau moralitas?
Kehendak (cetanā) adalah sīla, faktor-faktor batin (cetasikā) adalah sīla, pengendalian diri (saṁvara)
adalah sīla, dan ketiadaan
pelanggaran adalah sīla.
Kehendak
(Cetanā) sebagai Sīla
Secara umum, moralitas dapat diukur atau
diketahui dari perilaku badan jasmani dan ucapan seseorang. Dari perilaku
seseorang yang baik, biasanya kita dengan mudah menentukan bahwa ia adalah
orang dengan moralitas yang baik. Demikian pula jika seseorang senantiasa
mengucapkan kata-kata yang ramah, lemah lembut, dan kata-kata baik, secara
otomatis kita menganggap orang tersebut memiliki moralitas yang baik.
Sebaliknya, jika seseorang senantiasa berkata dan berperilaku yang buruk, kita
menganggap orang tersebut tidak memiliki moralitas.
Namun demikian, jika ditinjau lebih
mendalam, moralitas tidak hanya dalam bentuk ucapan maupun perilaku badan
jasmani. Moralitas juga dapat ditinjau dari kehendak (cetanā) yang mana akan menentukan bagaimana seseorang berucap dan bertindak
melalui badan jasmaninya. Misalnya saja kehendak yang muncul dalam diri
seseorang untuk menghindari pembunuhan, pencurian, bertindak asusila, berkata
bohong, dan minum minuman yang melemahkan kesadaran; atau misalnya kehendak
untuk membantu orang lain, berdana, serta melaksanakan kewajiban-kewajiban,
adalah termasuk dalam kehendak yang disertai dengan moralitas (sīla).
Faktor-faktor
Batin (Cetasikā) sebagai Sīla
Faktor-faktor batin sebagai sīla yang dimaksud di sini adalah tiga
faktor batin pengendalian diri, yaitu ucapan benar, perbuatan jasmani benar,
dan penghidupan benar. Ketiga faktor batin ini bersekutu dengan moralitas (sīla) sehingga dapat dikatakan
faktor-faktor batin ini sebagai sīla.
Ucapan benar (sammāvācā) adalah bentuk pengendalian dari kata-kata yang salah.
Dalam Buddha Dhamma, terdapat empat hal yang merupakan kata-kata salah, yaitu
berbohong, memfitnah, kata-kata kasar, dan ucapan yang bersifat membual. Seseorang
dianjurkan untuk menghindari empat jenis kata-kata salah ini. Sebaliknya,
setiap orang dianjurkan untuk senantiasa pengendalian diri melalui ucapan
dengan cara berkata jujur, ramah, lemah lembut, dan mengucapkan kata-kata yang
bermanfaat.
Perbuatan jasamani benar (sammākammanta) adalah bentuk
pengendalian diri dari perilaku jasamani yang salah. Misalnya, seseorang
menghindari pembunuhan, pencurian, dan tindakan asusila. Sebaliknya semua orang
dianjurkan untuk senantiasa menolong makhluk yang menderita, berdana, dan melakukan
kebaikan melalui badan jasmani.
Mata pencaharian benar (sammā-ājīva) adalah bentuk pengendalian diri dalam hal penghidupan.
Seseorang tidak dianjurkan melakukan hal-hal yang salah sebagai mata
pencahariannya. Mata pencaharian yang salah misalnya memperoleh pendapat dari
hasil menipu, membunuh makhluk lain, mencuri, dan lain sebagainya. Sebaliknya
semua orang dianjurkan untuk menempuh cara-cara yang tidak melanggar prinsip
moralitas untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
Selain tiga faktor batin tersebut,
terdapat tiga faktor batin lainnya yang juga termasuk dalam sīla, yaitu tanpa keserakahan (alobha), tanpa kebencian (adosa), dan kebijaksanaan (paññā). Dengan demikian jika seseorang
bertindak dan berucap disertai dengan ketiga faktor batin ini, maka ucapan dan
tindakannya tersebut pasti tindakan yang bermoral.
Pengendalian
Diri (Saṁvara) sebagai Sīla
Moralitas tidak dapat dipisahkan dari
faktor pengendalian diri. Seseorang yang dapat mengendalikan dirinya, pasti
memiliki tingkat moralitas yang tinggi. Tanpa adanya pengendalian diri,
seseorang akan dengan mudah melakukan kejahatan, misalnya melakukan kebohongan,
pembunuhan, pencurian, dan hal-hal lain yang jauh dari moralitas.
Visuddhi
Magga memberikan lima bentuk pengendalian diri sebagai sīla. Yang pertama dalah pāṭimokkhasaṁvara—yaitu pengendalian
diri dengan mematuhi peraturan-peraturan komunitas bhikkhu. Yang kedua adalah satisaṁvara—yakni
pengendalian alat-alat indera seperti mata, telinga, hidung, lidah, tubuh, dan
batin yang disertai dengan perhatian penuh. Selanjutnya adalah ñāṇasaṁvara—yaitu pengendalian diri yang
disertai dengan pengetahuan, pandangan benar. Kemudian khantīsaṁvara—pengendalian diri dengan kesabaran dan kemampuan
mengendalikan amarah. Yang terakhir adalah vīriyasaṁvara—yaitu
pengendalian diri dengan mengerahkan semangat dan upaya untuk mengenyahkan
pikiran buruk.
Ketiadaan
Pelanggaran sebagai Sīla
Seseorang yang memiliki moralitas akan
cenderung menghindari hal-hal yang buruk dan melakukan hal-hal yang baik.
Keadaan seperti itu akan mengondisikan orang tersebut terhindar dari
pelanggaran-pelanggaran moralitas. Dengan demikian, orang tersebut akan dapat
terhindar dari ucapan salah dan tindakan badan jasmani yang salah. Sehingga
dalam hal kehendak, faktor-faktor batin, dan pengendalian secara sempurna tidak
terlanggar sama sekali.
No comments:
Post a Comment